Belakangan ini ‘patgulipat’ politik istana menjadi gunjingan yang semakin menghangat dan cukup meresahkan publik. Bahkan mengundang Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) rela kembali turun ke jalan, berdemo ‘menegur’ istana pada 11 April ini. Mereka geram dan memilih posisi berseberangan dengan politik istana. Lho, apa yang sebenarnya terjadi? Pertanyaan ini tak mudah untuk dijawab. Tapi lewat pendekatan filmis dengan menyuguhkan serentetan gambaran peristiwa politik istana, mungkin akan sedikit membantu untuk merekonstruksi peristiwa ‘madu dan racun’ di pusaran politik kekuasaan istana.
Kira-kira begini gambaran berdasarkan imaji lepas yang dapat saya sajikan sebagai penghantar.
Ketika di bawah ‘ranjang’ istana ditemukan percikan bara di sana-sini, Presiden Jokowi dengan cekatan segera mengambil tindakan. Beliau langsung menempatkan ‘selimut basah’ untuk menutupi agar setiap kali datang tebaran bara, segera bisa diredam agar tidak sampai meluas. Hasilnya lumayan efektif. Setiap bara datang, dalam sekejap langsung meredup. Presiden pun semakin percaya diri bahwa tindakan yang beliau lakukan benar tanpa cela. Selanjutnya, berbagai kebijakan yang sekalipun berpotensi merangsang bergeraknya kembali ‘bara’ yang sudah mulai meredup, beliau gelontorkan dengan penuh percaya diri.
Sialnya, kumpulan ‘bara’ ini menjadi lebih terbiasa menghadang rembesan sang ‘selimut basah’. Segera mereka meningkatkan kemampuan diri untuk membaca kenyataan lewat kaca mata yang lebih cerdas. Ketika kumpulan ‘bara’ mengetahui bahwa ‘selimut basah’ yang dihadirkan terbaca dengan jelas berlabelkan fabrikasi pabrik dengan ‘logo LBP’, mereka pun menjadi semakin agresif. Kumpulan ‘bara’ dalam sekam pun mulai bergerak dengan cerdas membaca ruang-ruang hamparan selimut basah yang mulai mengering. Pasalnya pabrikasi mesin dengan ‘logo LBP’ ini, diketahui dengan gamblang super sibuk karena bertanggungjawab terhadap 9 produk lebih (nomenklatur) yang ditanganinya. Gerakan ‘bara-bara’ pun mulai mendapatkan momentum untuk bergerak membesar dikarenakan terbangunnya ‘logo LBP’ sebagai musuh bersama.
Ilustrasi di atas saya sengaja suguhkan sebagai penghantar bagaimana Presiden Jokowi dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai masalah pemerintahannya. Bermula sejak heboh para aktivis agar pemerintah tidak melanjutkan manuver politik yang ditengarai sebagai upaya melemahkan peran lembaga KPK; berlanjut dengan dihadirkannya UU-Cipta Kerja; kerawanan menghadapi serangan pandemik Covid-19; dan sejumlah masalah rawan lainnya. Untuk mengatasi semua ini, Presiden cukup hanya dengan menunjuk seorang Luhut Binsar Panjaitan (LBP), berbagai persoalan pun dapat diatasi dan beres! Tak mengherankan, LBP pun langsung dipercaya Presiden untuk mengepalai (komandan lapangan) sejumlah posisi strategis yang lingkup kerjanya berdasarkan nomenklatur susunan kabinet dalam pemerintahan RI era Jokowi, sebenarnya menjadi kewenangan sejumlah menteri-kementerian lainnya.
Kewibawaan dan ruang kekuasaan LBP pun bertambah. Oleh para pengamat ia sering dijuluki sebagai pembantu Presiden yang menyandang gelar Mr. ‘Super Minister’. Para menteri lain dengan kedudukan sama sebagai pembantu Presiden yang seharusnya bertanggungjawab atas sejumlah tugas yang dibebankan kepada LBP, langsung dibaca publik sebagai menteri tak becus. Mereka pun langsung dikotakkan sebagai para menteri-kementerian yang merupakan liabelitas (beban) bagi pemerintahan Jokowi. Sementara LBP, kian moncer tampil sebagai ‘man of solution’.
Memang dalam beberapa kinerjanya, LBP terbukti cukup berhasil menangani berbagai masalah benang kusut, baik yang rekaan maupun yang nyata ada. Secara garis besar, kerja LBP konkrit dan membuahkan hasil yang sangat membesarkan hati Pak Presiden. Di mata Presiden, LBP sebagai man of solution, terbukti sukses! Salah satu kunci suksesnya karena dalam melakukan kerjanya, ia selalu bermodalkan penggunaan konstitusi secara cerdas untuk meligitimasi semua kebijakan yang diambil (pemerintah).
Wajar bila kemudian sukses ini telah memompa meningkatnya kepercayaan diri yang dinilai banyak pihak sebagai kepercayaan diri yang berlebihan. Bacaan ini muncul beriringan dengan mulai terkuaknya manuver politik di balik gelontoran isu pengunduran pelaksanaan Pemilu, isu perpanjangan waktu kekuasaan, dan yang kesemuaannya bermuara pada manuver politik ‘Jokowi 3 Periode’. Sebagai reaksi, berbagai elemen bangsa menjadi resah terbakar oleh manuver politik istana yang mulai bermain api dengan konstitusi dasar negara UUD’45.
Terhadap reaksi negatif publik yang eskalasinya begitu cepat, tak terduga, dan begitu cepat memanas, sejumlah ‘buzzer’ dan sejumlah kelompok relawan pro istana pun langsung bergerak melakukan gerakan counter isu untuk meredam gejolak yang cenderung meluas. Upaya ini ternyata gagal total. Situasi malah kian memuncak. Terlebih ketika PDIP, partai pemerintah di mana Jokowi merupakan kader terbaiknya, berpihak pada suara rakyat yang menentang pengunduran jadwal Pemilu dan Jokowi 3 Periode.Tiga menteri kabinet yang merelakan diri muncul sebagai pioneer pengusung gagasan Pemilu mundur yang bertujuan memperpanjang masa jabatan Jokowi, DPR-MPR, DPD pun, langsung mendapat kecaman bertubi dari para aktivis dan sejumlah kumpulan organisasi massa maupun profesi.
Dampaknya, muncul berbagai analisis bahwa para menteri tersebut mungkin berharap penguasa istana memberi imbalan jasa dalam bentuk jaminan ‘aman’ dari bidikan hukum terhadap ‘dosa’ masa lalu mereka. Harapan ini ternyata membuahkan hasil sebaliknya. Publik justru terpancing untuk menguak kembali ‘luka lama’ seputar rekam jejak kinerja masa lalu mereka yang konon diduga keras berpotensi untuk dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Sialnya dalam kaitan ini, nama LBP mencuat ke permukaan dan menjadi gunjingan yang memposisikan LBP sebagai figur sentral pencetak produk politik Tunda Pemilu-Jokowi 3 Periode. Oleh Jokowi sendiri, masalah penundaan Pemilu dan Jokowi 3 Periode ditepis sebagai bukan datang dan berasal dari dirinya. Ditegaskan kembali dalam pernyataan resminya yang dilangsir media pada hari minggu 10 April. Publik lega mendengarnya karena misteri politik istana terjawab sudah. Sementara para pengamat dan para pemain politik sama-sama berdesah..lho koq?!
Atas misteri politik istana yang meresahkan ini, para aktivis pun langsung membedah pola dan cara tata kelola kekuasaan dalam penyelenggaraan negara ala Presiden Jokowi. Gunjingan pun melahirkan pertanyaan; siapa paling berkuasa di istana atau siapakah yang menguasai istana, merupakan gunjingan politik yang dua minggu terakhir ini sangat hangat dan memanas. Berawal sejak LBP tampil gagah membatalkan aturan stop ekspor batubara yang beberapa hari sebelumnya Presiden Jokowi sempat melontarkan pelarangan ekspor batubara. Gunjingan di sejumlah kalangan pegiat sosial-politik pun sempat melahirkan kesimpulan yang tendensius bahwa sekarang ini Jokowi adalah Presiden de Jure dan LBP lah sebenarnya ‘Presiden’ de Facto. Suatu kesimpulan politis yang tak terhindarkan.
Gunjingan yang tak sedap ini, semakin meleluas dipicu oleh kian terbacanya pat gulipat politik di kalangan istana. Yang menarik, ada sejumlah komentar para pemain senior yang digelontorkan secara datar tanpa emosi yang mempertanyakan; Senekad itukah LBP? Apa iya segala yang dilakukan LBP tidak ia laporkan pada atasan…?! Namun, bila ternyata inisiatif penggelontoran isu yang menghebohkan ini benar murni berasal dari seorang LBP, itu pun wajar-wajar saja. Pasalnya ada sejumlah masalah sensitif yang menjadi pemicunya; seperti kasus kereta cepat Bandung-Jakarta, pembangunan Ibu Kota baru, dan lain-lain. yang hingga 2024 belum tentu dapat tertangani secara tuntas dengan baik, tanpa ada celah hukum yang berpotensi menjadi bahan gugatan publik di masa depan.
Sebagai ‘Komandan lapangan’ yang bertanggungjawab atas segala gerak pembangunan dan penanganan berbagai masalah strategis dalam pemerintahan Jokowi periode kedua, sangat wajar bila LBP berkepentingan memainkan politik ulur waktu. Tentunya agar ia dapat berlaga lebih panjang yang dalam permainan sepakbola dikenal sebagai upaya menghadirkan injury time. Tapi sayangnya, ini NKRI…bukan lapangan bola yang permainan di atas lapangannya berpotensi bisa diatur-atur. Mau skor berapa pun para bandar siap menggelontorkan uang. Sebaliknya, Indonesia sebagai negara hukum yang bukan negara kekuasaan, segala aturan main harus dijalankan sesuai amanat konstitusi!
Dalam kaitan ini, sebagai seorang jenderal yang paham dan patuh terhadap Sumpah Prajurit, apa iya LBP berani bermain api di ranah konstitusi negara (UUD’45)? Pertanyaannya, bila bukan LBP, lalu…siapa yang sebenarnya tengah bermain api di ranah konstitusi negara yang sangat menghebohkan ini???
Nah, di tengah misteri politik istana yang menghebohkan ini, rakyat hanya bisa bernyanyi sendu…"Madu di tangan kananmu Racun di tangan kirimu Aku tak tahu Mana yang akan kau berikan padaku (baca:negeriku)..???”
Oleh: Erros Djarot, Budayawan dan Pemerhati Sosial PolitikSumber: watyutink.com