6 JUNI 1901
Soekarno dilahirkan di Jalan Pandean IV/40, Peneleh, Surabaya. Anak dari pasangan guru, Raden Soekemi Sosrodihardjo (Probolinggo, Jawa Timur) dan kerabat seorang bangsawan di Singaraja, Bali, Ida Ayu Nyoman Rai Srimben. Semula, Raden Soekemi memberi nama putranya yang lahir saat fajar menyingsing, Koesno Sosrodihardjo. Namun karena sering sakit-sakitan, sesuai dengan kebiasaan orang Jawa, namanya diganti menjadi Soekarno. Enam bulan setelah kelahiran Soekarno, 28 Desember 1901, keluarga Soekemi pindah ke Ploso, Jombang. Selama di Jombang, Soekarno dan kakak perempuannya, Soekarmini sering sakit, sehingga mereka sempat tinggal di rumah kakek dan neneknya, Raden Hardjodikromo di Tulung Agung, Jawa Timur. Sebagai guru, Soekemi dipindah tugas lagi ke Sidoarjo. Di kota ini, Soekarno bersekolah di Sekolah Angka Dua (Ongko Loro), sekolah dasar yang diperuntukkan bagi anak-anak Bumiputra dengan lama pendidikan 3 tahun. Karena sering sakit-sakitan, Soekarno diminta kakek neneknya untuk tinggal dan bersekolah di Tulungagung.
22 Januari 1909
Soekemi dipindah tugas ke Mojokerto sebagai mantri guru (kepala sekolah) di Eerste Indlandsche School/ EIS (Sekolah Dasar Bumiputra). Soekarno kembali tinggal bersama ayah ibunya dan dimasukan ke sekolah tempat Soekemi ditugaskan. Di EIS, Soekarno bersekolah hingga kelas empat.
Juni 1911
Soekemi memindahkan Soekarno ke Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar Eropa yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar untuk memudahkannya diterima di Hoogere Burger School (HBS). Di ELS, Soekarno duduk di kelas tiga sebab bahasa Belandanya dinilai kurang lancar. Setelah empat tahun (1911-1915) Soekarno tamat dari ELS dengan ijazah Klein Ambtenaar Diploma (ijazah untuk dapat menjadi pegawai negeri).
1915 Soekarno masuk HBS Surabaya dan indekos di rumah Raden Haji Oemar Said Tjokroaminoto, ketua Sarekat Islam (SI), di Gang Peneleh VII Nomor 29 dan 31. Di rumah indekos ini, Soekarno berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan dan memulai proses magang politik. Di tahun yang sama, Tri Koro Darmo (Tiga Tujuan Mulia) cabang Surabaya berdiri, Soekarno yang saat itu menjadi pelajar HBS bergabung dengan organisasi ini. Pada tahun 1918, Tri Koro Darmo berganti nama menjadi Jong Java dengan maksud bisa merangkul para pemuda dari Sunda, Madura dan Bali. Dalam rapat pleno tahunan yang diadakan Jong Java cabang Surabaya, Soekarno menolak berbicara dengan bahasa Belanda dan mempromosikan egalitarianisme dalam masyarakat Jawa dengan cara berbicara bahasa Djawa Ngoko (rendahan). Di Jong Java, Soekarno juga mengusulkan majalah organisasi tersebut diterbitkan dalam bahasa Melayu, bukan dalam bahasa Belanda.
29 September - 6 Oktober 1918
Selain aktif di Jong Java cabang Surabaya, Soekarno sering menemani Haji Oemar Said Tjokroaminoto dalam pertemuan-pertemuan atau rapat akbar Sarekat Islam (SI). Soekarno ikut menghadiri kongres nasional ketiga SI di Surabaya.
21 Januari 1921
Artikel Soekarno yang ditulis bersama SP. Soedarjo terbit di halaman depan koran Oetoesan Hindia milik Sarekat Islam (SI). Tanggal 7 April 1921, Soekarno kembali menulis artikel bertajuk “intellectueelen”. Soekarno aktif menulis artikel politik melawan kolonialisme Belanda. Di koran milik SI, Soekarno menulis sekitar 500 artikel dan komentar memakai nama pena Bima, nama yang diambil dari tokoh pewayangan epos Mahabharata. 10 Juni 1921 Soekarno lulus dari Hoogere Burger School (HBS) dan bermaksud untuk meneruskan pendidikannya ke sekolah tinggi di Belanda. Namun, Ibundanya tidak setuju atas niatnya tersebut.
“Pergi ke luar negeri memerlukan biaya yang sangat besar…aku ingin supaya engkau tinggal di sini, di antara bangsa sendiri. Jangan lupa sekali-kali nak, bahwa tempatmu, nasibmu, pusakamu adalah di kepulauan ini” kata Ibunda Soekarno
Juli 1921
Soekarno mendaftarkan diri ke Technische Hooge School (THS), sekarang Institut Teknologi Bandung, mengambil jurusan teknik sipil. Di Bandung, Soekarno indekos di rumah Haji Sanoesi, anggota SI dan sahabat Tjokroaminoto. Di rumah ini, Soekarno bertemu dengan Inggit Ganarsih.
Pertengahan 1922
Soekarno sempat cuti kuliah selama tujuh bulan dan pada 1922 mendaftar kembali. Di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Dr. Douwes Dekker (Dr. Danudirja Setiabudi), dan Tjipto Mangunkusumo. Saat kuliah di THS Bandung, Soekarno merumuskan teori perjuangan Marhaenisme, diambil dari nama seorang petani, Marhaen.
“Seorang Marhaen adalah orang yang memiliki alat-alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri. Bangsa kita yang puluhan juta jiwa, yang sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang bekerja untuk dia. Tidak ada pengisapan tenaga seorang oleh orang lain. Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktik,” kata Soekarno.
29 November 1925
Soekarno bersama Mr. Iskaq Tjokrohadisoerjo, dr. Tjipto Mangunkusumo, Abdoel Moeis, dan Ir. Anwari mendirikan Algemene Studie Club (ASC) Bandung, yang menjadi cikal bakal Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
25 Mei 1926
Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur spesialis di bidang teknik jalan raya, konstruksi pelabuhan, dan pengairan. Pada Dies Natalis ke-6 THS Bandung tanggal 3 Juli 1926 Soekarno diwisuda bersama delapan belas insinyur lainnya. Prof. Dr. Jacob Clay selaku ketua fakultas saat itu, menyatakan “Terutama penting peristiwa itu bagi kita karena ada di antaranya 3 orang insinyur orang Jawa”. Mereka adalah Soekarno, Anwari, dan Soetedjo, selain itu ada seorang lagi dari Minahasa yaitu Johannes Alexander Henricus Ondang.
26 Juli 1926
Soekarno bersama teman seangkatannya di THS, Ir. Anwari mendirikan biro arsitek. Biro ini tak berkembang, karena keduanya lebih sibuk dengan kegiatan politik. Tahun 1929, biro arsitek tersebut bubar, karena Soekarno ditahan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sebelum mendirikan biro arsitek Soekarno sempat mengajar matematika dan sejarah di sekolah Yayasan Ksatrian yang diselenggarakan oleh Dr. Danudirja Setiabudi.
Oktober 1926 Soekarno memimpin surat kabar berkala Indonesia Moeda. Harian yang terbit tiap bulan ini dibuat oleh “Algemeene Studie Club” Bandung dan “Indonesiche Studie Club” Surabaya. Soekarno menulis artikel “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme” yang terbit dalam tiga nomor berturut-turut di majalah Studieclub Bandung, Indonesia Moeda. Soekarno menyerukan kerjasama yang erat di antara tiga golongan ini. 4 Juni 1927 Soekarno bersama Mr. Sartono, Ir. Anwari, Mr. Soenarjo, Mr. Iskaq Tjokroadisoerjo, dr. Boediarto, dr. Samsi Sastrowidagda, Soedjadi dan Jan Tilaar mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) di Bandung, partai politik dengan program utama mencapai kemerdekaan Indonesia. Dewan pengurus terbentuk dengan diketuai oleh Soekarno, Iskaq sebagai sekretaris merangkap bendahara, sedangkan anggotanya antara lain, Anwari, Samsi, Sartono dan Soenarjo. Saat mendeklarasikan PNI, Soekarno menyatakan bahwa anggota ASC otomatis menjadi anggota PNI. Pada kongres 1928, gerakan tersebut memproklamasikan diri sebagai partai, dengan nama baru: Partai Nasional Indonesia.
17 Desember 1927
Permufakatan Perhimpunan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) terbentuk atas inisiatif Soekarno. Perhimpunan ini terdiri dari 7 organisasi politik, yaitu: PNI, PSI, Boedi Oetomo, Pasundan, Sarekat Sumatra, Kaum Betawi dan Algemeene Studie Club. Belakangan Sarekat Madura, Perserikatan Celebes dan Tirtajasa Banten ikut bergabung. Tahun 1933, nama Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia diganti dengan Persatuan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kemerdekan Indonesia. 29 Desember 1929 Usai menghadiri pertemuan kongres kedua PPPKI di Solo dan meninjau cabang-cabang PNI, Soekarno ditangkap pemerintahan kolonial Hindia Belanda bersama tokoh PNI lainnya di Yogyakarta. Mereka dituduh merencanakan pemberontakan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Esok harinya, Soekarno berserta R. Gatot Mangkoepradja (Sekretaris II PNI Pusat) dan Maskoen (Sekretaris II Cabang Bandung) dibawa ke Bandung dan dijebloskan ke penjara Banceuy. Selain Soekarno dan Gatot Mangkoepradja, Maskoen Soemadiredja, anggota PNI cabang Bandung, R. Soepriadinata, juga ditangkap dan ditahan di penjara tersebut.
29 Desember 1929 Usai menghadiri pertemuan kongres kedua PPPKI di Solo dan meninjau cabang-cabang PNI, Soekarno ditangkap pemerintahan kolonial Hindia Belanda bersama tokoh PNI lainnya di Yogyakarta. Mereka dituduh merencanakan pemberontakan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Esok harinya, Soekarno berserta R. Gatot Mangkoepradja (Sekretaris II PNI Pusat) dan Maskoen (Sekretaris II Cabang Bandung) dibawa ke Bandung dan dijebloskan ke penjara Banceuy. Selain Soekarno dan Gatot Mangkoepradja, Maskoen Soemadiredja, anggota PNI cabang Bandung, R. Soepriadinata, juga ditangkap dan ditahan di penjara tersebut.
18 Agustus-22 Desember 1930
Setelah ditahan selama delapan bulan, Soekarno, Gatot Mangkoepradja, Maskoen Soemadiredja dan Soepriadinata diadili di Landraad (pengadilan negeri) Bandung. Mereka dibela oleh pengacara-pengacara dari PPPKI, di antaranya Mr. Sartono, Mr.Iskaq Tjokrohadisurjo, Mr. Soejoedi, Mr. Sastro Moeljono, dan R. Idih Prawiradipoetra. Tanggal 1 dan 2 Desember 1930, Soekarno membacakan naskah pembelaan yang diberi judul “Indonesia Menggugat”. Soekarno membeberkan secara sistematis dan tajam bagaimana kolonialisme dan imperialisme bekerja memperkaya diri sekaligus memiskinkan rakyat negara kolonial.
22 desember 1930 Soekarno divonis hukuman penjara selama 4 tahun oleh pengadilan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sementara Gatot dihukum 2 tahun penjara, Maskoen 20 bulan penjara dan Soepriadinata 15 bulan penjara. Soekarno, Gatot, dan Maskoen menjalani masa penahanannya di penjara Soekamiskin.
1931
Naskah “Indonesia Menggugat” (Indonesie Klaagt Aan) ditulis Soekarno di sel sempit berukuran 1,5 meter x 2 meter diterbitkan di Eropa. Pledoi tersebut menggugah dunia internasional dan banyak ahli hukum di Eropa mendesak pemerintah kolonial Hindia Belanda meringankan hukuman Soekarno dan teman-temannya.
31 Desember 1931
Hukuman Soekarno dipotong dua tahun dan dibebaskan. Selama Soekarno di penjara, PNI telah membubarkan diri lantaran pemerintah Kolonial Hindia Belanda mencap sebagai partai terlarang. Tak lama kemudian berdiri 2 partai baru yaitu, Partai Indonesia (Partindo) didirikan oleh Mr. Sartono dan PNI Baru, pimpinan Mohammad Hatta-Sutan Sjahrir. 2 Januari 1932 Soekarno menghadiri rapat Kongres Indonesia Raya di Surabaya. Dalam rapat itu, Soekarno menghimbau tentang persatuan nasional dalam PPPKI. Tahun 1932 Sekeluarnya dari penjara Soekamiskin Bandung, Bung Karno kembali membangun biro arsitek bersama Ir. Roosseno Soerjohadikoesoemo. Saat itu, Bung Karno mengerjakan rancangan rumah-rumah yang hendak dibangunnya, sedangkan Roosseno membuat hitungannya (kalkulasi). Biro Insinyur Soekarno & Roosseno yang bertempat di Jl. Banceuy No. 18 Bandung, sempat merancang beberapa rumah tinggal di Bandung.
1 Agustus 1932
Soekarno resmi bergabung menjadi anggota Partindo dan berusaha dan mengusahakan fusi antara Partindo dengan PNI baru. 15 Juni 1932 Soekarno menerbitkan koran baru bernama Fikiran Ra’jat dan bertindak sebagai pemimpin redaksinya. Terbit sekali seminggu, koran politik ini mengambil slogan: Kaoem Marhaen! Inilah Madjallah Kamoe! Fikiran Ra’jat diperuntukkan untuk pembaca luas di kalangan marhaen. Terutama mereka yang hanya bisa membaca dan menulis. Selain menulis, di majalah ini Soekarno juga menggambar karikatur memakai nama samaran, Soemini.
14-19 April 1933
Soekarno terpilih sebagai ketua Partindo dalam kongres kedua partai ini di Surabaya. Maret 1933 Soekarno melepas lelah beberapa hari di Pegunungan Pengalengan, Bandung, setelah melakukan perjalanan ke Jawa Tengah untuk membangkitkan semangat rakyat. Di tempat ini Soekarno menulis risalah “Mencapai Indonesia Merdeka” yang diterbitkan oleh Haji Umar Ratman, Bandung, pada April. Risalah Mencapai Indonesia Merdeka berbicara tentang busuknya sistem politik pintu terbuka imperialisme dan mengutuk seluruh sistem kolonialisme.
1 Agustus 1933
Soekarno kembali ditangkap untuk kedua kalinya. Soekarno ditangkap di depan rumah MH. Thamrin di Batavia usai menghadiri rapat pengurus eksekutif Partindo.
28 Maret 1933
Gubernur Jenderal, pemimpin tertinggi pemerintahan kolonial di Hindia Belanda atas dasar exorbitante rechten, wewenang istimewa untuk mengenakan sanksi kepada setiap pembangkang berupa interneering (pengasingan di tanah kolonial) atau externeering (pembuangan ke luar wilayah) mengeluarkan surat pengasingan Soekarno ke Ende, Nusa Tenggara Timur.
17 Februari 1934
Soekarno beserta rombongan meninggalkan Bandung dengan kereta api menuju Surabaya untuk kemudian naik kapal barang Van Riebeek menuju Ende. Selama di Ende, Soekarno rajin mempelajari Islam, membaca buku Islam serta melakukan korespondensi dengan A. Hassan, tokoh organisasi Persatuan Islam (Persis) yang ada di Bandung. Surat menyurat antara keduanya berlangsung sejak 1 Desember 1934 hingga 17 Oktober 1936. Surat-surat Soekarno tersebut kemudian diterbitkan oleh Ahmad Hassan menjadi buku berjudul “Soerat-Soerat Islam dari Ende.” Soekarno diasingkan ke Ende selama 4 tahun (1934 -1938).
14 Februari 1938
Pemerintah kolonial Hindia Belanda memutuskan Soekarno akan dipindahkan ke Bengkulu. Soekarno dan rombongan berangkat dari Ende ke Bengkulu pada 30 April 1938. Di Bengkulu Bung Karno diasingkan selama 4 tahun (1938 - 1942). Seperti di Ende, di Bengkulu, Soekarno juga membentuk kelompok sandiwara, Monte Carlo. Di sini Soekarno menghasilkan beberapa naskah tonneel, seperti Rainbow (Poetri Kencana Boelan), Hantoe Goenoeng Boengkoek, Si Ketjil (Klein Duimpje), dan Chungking Djakarta. Di Bengkulu, Soekarno masuk menjadi anggota Muhammadiyah dan mengajar di sekolah Muhammadiyah. Soekarno juga aktif menulis di koran Panji Islam milik Muhammadiyah.
Tahun 1942
Setelah Jepang mengalahkan Belanda tahun 1942, Soekarno dibawa ke Jakarta. Awalnya, Belanda ingin membawa Soekarno ke Australia dengan kapal yang disiapkan di Padang. Namun rencana tersebut gagal, karena tentara Jepang telah menguasai daerah tersebut. Juni 1942, Soekarno menyetujui tawaran Jenderal Hitoshi Imamura seorang panglima tentara Jepang (Seiko Shikikan) di Jawa, untuk bekerja sama dengan tentara pendudukan Jepang. Perjalanan Soekarno dari Bukittinggi melalui Bengkulu, Palembang, hingga akhirnya tiba di Jakarta. Segera setelah tiba, Soekarno bertemu dengan Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir untuk mengatur siasat menghadapi tentara pendudukan Jepang. Mereka bersepakat berbagi tugas membawa Indonesia menuju kemerdekaan.
16 April 1943
Soekarno membentuk badan Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Putera dipimpin oleh Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara dan K.H. Mas Mansur. Keempat tokoh itu dikenal dengan sebutan Empat Serangkai. Akhir tahun 1943 Putera dibubarkan.
1 Maret 1944
Tentara pendudukan Jepang membentuk Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa) sebagai pengganti Putera dan Soekarno ditunjuk sebagai penasehat utamanya
29 April 1945
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) didirikan dan beranggotakan 59 orang, dimana Soekarno dan Mohammad Hatta tercatat sebagai anggotanya. Badan ini diketuai Radjiman Wedyodiningrat.
1 Juni 1945 Soekarno melahirkan istilah Pancasila yang menjadi dasar negara dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam rapat itu juga disepakati Undang-undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia.
7 Agustus 1945
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk, beranggotakan 27 orang dan diketuai oleh Soekarno. 14 September 1944 Soekarno memimpin Barisan Pelopor yang dibentuk tentara pendudukan Jepang. Organisasi semi milter ini merupakan bagian dari Jawa Hokokai. 9 - 14 Agustus 1945 Soekarno, Mohammad Hatta dan Rajiman Wedyodiningrat diundang Marsekal Terauchi ke Dalat, di bagian utara Saigon, Vietnam. Kembali dari Dalat, saat mendarat di Jakarta pada 14 Agustus 1945, Bung Karno menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak perlu menunggu jagung berbuah karena akan terlaksana sebelum jagung berbunga.
16 Agustus 1945 Para pemuda mendesak proklamasi secepatnya. Soekarno dan Hatta menolak tuntutan pemuda untuk memproklamasikan Indonesia dengan alasan belum mendapat kepastian menyerahnya Jepang dalam perang dan menghindari terjadi pertumpahan darah. Soekarno dan Hatta diculik oleh para pemuda dan membawanya ke Rengasdengklok. Esok harinya, Soekarno dan Hatta dijemput pulang ke Jakarta oleh Achmad Soebardjo. Soebardjo berhasil menyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan. Tiba di Jakarta, mereka meminjam rumah Laksamana Maeda, Kepala Kantor Penghubung antara Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang, untuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Soekarno, Hatta dan Soebardjo berembuk merumuskan naskah Proklamasi.
17 Agustus 1945
Di kediamannya, Jalan Pengangsaan Timur 56, Soekarno membacakan naskah proklamasi yang disambung dengan pidato tanpa teks. Selanjutnya bendera Merah Putih yang telah dijahit oleh Fatmawati Soekarno dikibarkan, yang disertai lagu Indonesia Raya.
18 Agustus 1945
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945, dan menetapkan Soekarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden. Pengangkatan ini dikukuhkan pada 29 Agustus 1945 oleh Komite Nasional Indonesia Pusat.
Sumber : pdiperjuangan.id