Mencerdaskan Perempuan Lewat Kesetaraan Gender

Perempuan, dalam sudut pandang keimanan manusia, merupakan manifestasi dari ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa atas penciptaannya yang hadir dalam rangka melengkapi dan memberikan kontribusi besar untuk memajukan suatu peradaban. Dan tak lain bahwa perempuan diberikan secara kodrati untuk diberikan sebuah amanah dalam rangka menjaga makhluk kecil dalam kandungannya.

Tentu peran perempuan tidak hanya sekadar dilihat dari sudut pandang kodrati yakni proses mengandung calon bayi yang akan dilahirkan. Melainkan adalah sejauh mana peran dan partisipasi perempuan menjalankan segala macam aktivitas sosialnya, salah satunya adalah sebagai aktor dalam pemajuan peradaban melalui konstruksi sosial.

Secara etimologi, bahwa gender berasal dari bahasa Inggris yakni Gender. Proses lahirnya dari gender, berangkat dari konstruksi sosial dari sebuah proses kebiasaan/habbit yang menjadi pembeda antara laki-laki dan perempuan, gender lahir dari pemahaman yang lahir dan tumbuh dari alam pikiran persepsi masyarakat.

Secara historis, bahwa awal mula lahirnya kesetaraan gender diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pencirian manusia didasarkan pada pendefinisian secara sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari cirri-ciri fisik biologis.

Meskipun, Stoller menganggap bahwa Aan Oakley menggambarkan bahwa gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada mansuia dibangun oleh kebudayaan manusia. (Woman Support Project II/Cida dan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia: 2021).

Namun apa yang terjadi? Dugaan penulis bahwa saat ini perempuan masih belum memahami secara sepenuhnya tentang kesetaraan gender. Seperti halnya yakni perempuan terjebak dalam paradigma patriarki dan misogini yang dilakukan oleh laki laki.

Meskipun tentu setiap perempuan mempunyai hak dalam menentukan pria yang akan menuntun dirinya untuk menjalin sebuah hubungan yang sakinah, mawaddah, warahmah. Tapi harus kokoh secara pikiran, rasa dan tindakan yang harus dimiliki oleh perempuan, ya sederhana saran dari penulis yakni membaca buku yang ditulis oleh Bung Karno yang berjudul “Sarinah”. Sehingga hasil dari bacaan tadi dapat diaplikasikan dalam dimensi kehidupan.

Hingga saat ini, yang disayangkan oleh penulis atas realitas adalah pilihan seorang perempuan atas laki-laki karena terjebak dalam kerangka berpikir pragmatisme – materialisme, yang mengabaikan konstruksi sosial kesetaraan gender.

Misalnya sederhana, perempuan sering terpincut dengan harta dan kekayaan dengan seorang laki-laki yang tajir dan hedonisme dengan tempo yang sesingkat-singkatnya.

Menurut amat penulis, jika proses didapatkan karena instanisasi, jangan harap kesetiaan itu didapatkan. Karena harta dapat mengubah karakteristik seorang laki-laki dalam memilih dan memilah seorang perempuan lain, meskipun hal tersebut sudah menjalin ikatan keilahian berupa akad nikah. Bukan berarti dalam konteks ini penulis menggambarkan rasa takut, namun alih-alih adalah harus selektif dalam menentukan pilihan.

Ya semoga saja proses mempelajari hingga melaksanakan kesetaraan gender dapat dilaksanakan dengan baik, seiring dengan berjalannya waktu. Pasalnya hingga saat ini, bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kerap terjadi dalam membangun keluarga antara Suami dan Istri. Baik kekerasan secara verbal maupun fisik.

Kebanyakan, bahwa kekerasan ini yang dilakukan adalah laki-laki terhadap perempuan. Lantas seperti apa dalam kurun waktu ini?

Alhamdulillah, melalui penantian panjang hingga tahunan, perjuangan aktivis kaum perempuan di Indonesia, telah memperjuangkan melalui legal formil yang sebelumnya Rancangan Undang–Undang Pidana Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), dalam hal ini juga menentukan posisi wanita menjadi salah satu manusia yang dapat dihargai dan diberikan peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni dalam konteks Indonesia.

Kesetaraan Gender dan Konsistensi

Jika mengacu pada ayat-ayat yang literalis atau sumber otoritatif Islam yakni Al-Qur’an sebagaimana di dalam Surah Az-Zariyat ayat 49, yang artinya: Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).

Manusia dalam konteks laki-laki dan perempuan, jika diterjemahkan dan diaplikasikan dalam proses kehidupan, maka tentunya bahwa setiap kedua jenis tersebut mempunyai sisi kelebihan dan kekurangan. Yang pasti bahwa dua sisi tersebut saling melengkapi, agar terjadinya proses humanisasi dalam dimensi sektor, baik dalam lanskap pendidikan formal (lembaga dan sekolah), pendidikan non formal (organisasi maupun komunitas), maupun  pendidikan informal (keluarga).

Memahami kesetaraan gender tidak hanya melulu dipelajari oleh perempuan, melainkan seorang laki-laki pula juga mempelajari topik tersebut dijadikan sebagai bahan diskursus dan aplkatif. Dalam hal ini agar tidak terjadi ketimpangan sosial.

Tentu bagaimana agar kedua insan tersebut, baik laki-laki dan perempuan dalam kesetaraan gender? Maka salah satunya adalah melalui pendidikan. Dalam hal ini bahwa pendidikan, sebagaimana amanat dari Undang Undang Dasar (UUD) 1945, dalam preambule memuat bahwa pentingnya “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” soal kesetaraan gender. Sehingga lantas apa yang terjadi? Hak hak, kewajiban atas mendekati kesempurnaan antara laki-laki dan perempuan.

Pada prinsipnya sederhana, bahwa pencerdasan dengan mekanisme macam cara, ada yang diskusi yang kontemporer, historis, bedah buku, atau bahkan melalui pendekatan kepenulisan dengan cara membuat opini. Selayaknya sebagai insan para Sarjana di Indonesia, setidaknya konstruksi sosial dapat terbangun.

Saya harap dengan demikian, tidak adanya pola diskrimasi atau dominasi keduanya, baik laki-laki dan perempuan. Saya harap, perempuan perempuan yang ada di Indonesia, maka susunlah pilihan yang sesungguhnya dan sejatinya, pasalnya perempuan tidak hanya sekedar dalam urusan domestik, seperti halnya Macak, Masak, dan Manak. Melainkan berpartisipasi dalam ruang publik dan mendidik secara kolektif, jika mempunyai putra dan putri. Serta berpartisipasi dalam perserikatan.

Di lain itu, konsistensi dalam penyadaran juga penting, sederhananya adalah dalam ruang lingkup terkecil, misalnya keluarga maupun sahabat terdekatnya. Meskipun, dalam bukunya Riant Nugroho yang berjudul Gender dan Strategi Pengarusutamaannya di Indonesia, menyebutkan bahwa Gender Differences (Perbedaan Gender) pada dasarnya bukan menjadi problem atau masalah, selama perjalanannya tidak adanya ketimpangan hingga ketidakadilan gender (Gender Inequalities).


Aji Cahyono
Mahasiswa Magister Kajian Timur Tengah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Alumni GMNI Surabaya.

Artikel ini pernah dimuat di NalarPolitik 15 April 2022.