Indonesia sungguh berduka ketika kapal selam KRI Naggala 402 dinyatakan tenggelam dan seluruh awak kapal gugur menjalankan tugas paripurna sebagai patriot bangsa. Rakyat Indonesia menaruh hormat. Berbagai doa dilantunkan, hingga bergelora kekaguman atas perjuangan berat seluruh awak kapal, khususnya para Prajurit TNI yang memang dipersiapkan untuk menempuh resiko terburuk gugur di medan tugas. Ingatan bangsa pun bergerak jauh meneladani perjuangan para patriot bangsa disertai tindakan reflektif bahwa keteladanan seperti itulah yang seharusnya dimiliki seluruh anak bangsa secara kolektif. Indonesia memang lahir dari semangat perjuangan dan pengorbanan jiwa raga tanpa pernah menghitung “saya dapat apa”.
Semua dilandaskan oleh semangat cinta pada tanah air sehingga Bung Karno pun mengatakan: “Jika sekiranya saya diberikan dua kali hidup oleh Allah Subhanahu Wa ta’ala, maka hidup itu pun aku persembahkan 100% bagi kepentingan bangsa dan negara”. 2 Jadi sangat jelas, bahwa pengabdian paripurna Awak Kapal KRI Nanggala 402 tsb berakar kuat dari semangat “hidup atau mati”, ketika hal tsb berurusan tugas untuk bangsa dan negara. Semangat itulah yang membuat mengapa Indonesia bisa survive menghadapi gempuran agresi militer Belanda I dan II. Suatu agresi yang dijawab dengan perlawanan total seluruh komponen bangsa.
Rakyat, TNI, Tentara Pelajar, Palang Merah Indonesia, dan seluruh komponen masyarakat bahu membahu melawan penjajah hingga melahirkan sistem pertahanan semesta. Dengan sejarah heroisme bela negara tsb, bukankah pengorbanan para patriot bangsa tersebut seharusnya mengilhami para elit bangsa dan menjadi karakter nasional Indonesia? Gugurnya para patriot di KRI Nanggala 402 tsb, menyadarkan betapa pentingnya watak dan jati diri kepahlawanan untuk dihadirkan kembali. Sayang sekali, semangat berdedikasi bagi bangsa dan negara nampak meluntur. Demikian halnya rasa percaya diri untuk berani meletakkan nasib bangsa dan nasib tanah air di tangan sendiri.
Gejalanya sangat jelas. Pertama, melunturnya semangat berdiri di atas kaki sendiri (berdikari). Pada saat revolusi fisik menghadapi Agresi I dan II Kolonialisme Belanda, para ahli kimia di beberapa perguruan tinggi negeri saat itu, mampu berkreasi membuat peledak guna menghambat laju pergerakan Belanda. Lalu mengapa dalam pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) dalam empat dasa warsa terakhir justru semakin meninggalkan semangat berdikari? Begitu banyak kepentingan yang bermain, sehingga melemahlah daya tangkal militer karena kasak kusuk para lobbyist industri senjata. 3 Kemana semangat berdikari itu? Juga dalam hal pangan, obat-obatan, dan berbagai kebutuhan pokok rakyat lainnya. Betapa mudahnya mengambil keputusan untuk impor. Kedua, mentalitet terjajah, ketertundukkan terhadap asing.
Dalam dunia pendidikan sekalipun, betapa Indonesia dijajah dengan filsafat, metodologi pemikiran, dan bahkan referensi teori yang sering ditelan mentah tanpa dibumikan dalam kultur dan kondisi geografis bangsa Indonesia sendiri. Di India bisa diambil contoh. Semangat swadesi muncul dalam setiap disiplin ilmu pengetahuan. India dengan bangga menampilkan para pemikir ulung, para pakar nasionalnya terlebih dahulu, kemudian baru pemikir Asia dan kemudian dunia. Puncaknya, berbagai pemikiran tsb ditelaah secara kritis bagi kepentingan nasionalnya. Dengan demikian, jalan berdikari pun dimulai dari rasa percaya diri dalam alam pikir dunia pendidikan.
Indonesia tidak akan berdikari, ketika sistem pendidikan nasional juga tidak mendorong semangat berdikari tsb. Mentalitet terjajah juga muncul dari kebiasaan membeli produk asing, daripada berjuang mendorong kemampuan produksi nasional Indonesia. Pembelian buah impor adalah contoh sederhana dari mentalitet ketertundukan ini. Ketiga, melunturnya jalan modernitas dan supremasi pengusaan sains dan teknologi bagi kemajuan bangsa. Para pendiri bangsa seperti HOS Tjokroaminoto, Radjiman Wedyodiningrat, Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, KH Agus Salim, dll merupakan pemimpin negarawan dan sekaligus pembelajar yang baik. Mereka menyadari bahwa Indonesia maju melalui modernitas dalam seluruh aspek kehidupan, namun tetap bercorak pada kebudayaan bangsa sendiri. Mereka mempelajari kunci kemajuan Jepang, Turki, Tiongkok dll, 4 dan tidak silau oleh kemajuan negara lain, selain berjuang keras agar Indonesia memiliki semangat yang sama.
Para pendiri bangsa tersebut menegaskan bagaimana penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, kegiatan riset dan inovasi diabdikan bagi kepentingan kemanusiaan, keadilan, dan sekaligus sebagai jalan pembebasan dari belenggu kemiskinan. Para pemimpin negarawan tersebut sangat memahami substansi mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjadikan Pancasila sebagai obor pembebas bagi bangsa-bangsa Asia Afrika dan Amerika Latin. Lalu kenapa kepemimpinan Indonesia tersebut kini meredup? Seluruh semangat juang dan dedikasi para patriot bangsa tersebut karena kuatnya ide bagi kejayaan bangsa, rasa cinta tanah air, dan semangat juang untuk mewujudkannya.
Ketiga aspek inilah yang harusnya dikobarkan. Dengannya, berbagai kemerosotan semangat berdikari, mentalitet terjajah, dan semangat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dipulihkan. Belajar dari para patriot bangsa yang gugur ketika menjalankan tugas negara, kita diingatkan kata-kata penuh semangat dari Bung Karno, bahwa perjuangan bagi rakyat, bangsa dan negara tidak akan pernah sia-sia, no sacrifice is wasted!!! Perjuangan paripurna Patriot Bangsa yang gugur di KRI Nanggala 402 tidak akan pernah sia-sia selama cita-cita bela negara demi kejayaan Indonesia terus berkumenadang karena mera putih melekat kuat di dada. Merdeka!!!
Artikel dimuat pada kolom Opini “Suara Kebangsaan” Pos Kota, 8 Mei 2021