PERSAUDARAAN SEJATI

Peringatan Hari Raya Idul Fitri 1442 H sebagai Hari Kemenangan Umat Islam setelah menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh, hingga berkumandangnya gema takbir membawa berkah tentang pentingnya semangat persatuan dan persaudaraan sejati seluruh komponen bangsa. Hal ini nampak, dari peringatan Idul Fitri yang bersamaan dengan peringatan Hari Raya Kenaikan Isa Almasih ke Surga. Bukankah peristiwa itu tidak terjadi secara kebetulan, mengingat Islam sebagai rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam semesta dan seisinya terus menggelorakan sikap hidup yang menebar kebaikan, perdamaian dan keadilan bagi seluruh umat manusia?

Bukankah kenaikan Yesus Kristus juga mengajarkan hal yang sama, bagaimana kemuliaan itu diperoleh sebagai rahmat Allah, melalui jalan pengorbanan dengan kasih dengan memberikan diriNya bagi pembebasan dosa umat manusia? 2 Agama mengajarkan budi pekerti luhur, etika dan moral, serta falsafah tentang kehidupan bersama yang harus diisi oleh perbuatan baik, menjauhkan diri dari kejahatan dan segala kemungkaran. Karena itulah agama menebar perdamaian atas dasar persaudaraan sejati dengan sesama manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Agama melekat dengan seluruh aspek kemanusiaan, karena dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, seluruh warga bangsa bertekad untuk menjalankan perintah Tuhan dengan menjalankan hal-hal yang baik sebagaimana sifat dari Sang Pencipta Penguasa Alam Raya seisinya. Inilah kesadaran spiritualitas bangsa Indonesia.

Kesadaran spiritualitas rakyat Indonesia yang menyembah dan mengabdi Tuhan itulah yang mendasari Bung Karno memasukkan prinsip ketuhanan dalam Pancasila. Sejak awal Bung Karno sadar, bahwa ketika diminta mengusulkan tentang falsafah dasar daripada Indonesia Merdeka, Bung Karno menggali mutiara kehidupan bangsa, dengan mengarungi seluruh sejarah peradaban nusantara, peradaban agama, dan peradaban dunia. 3 Akhirnya Pancasila hadir sebagai falsafah bangsa yang paling cocok bagi Indonesia yang begitu beragam dari aspek agama, kepercayaan, suku, ras, dan berbagai perbedaan budaya-adat istiadat. Di dalam kesadaran spiritualitas bangsa, Bung Karno juga menemukan Nusantara sebagai negeri spiritual. Nusantara terus menjaga pentingnya keharmonian, toleransi, dan pentingnya keseimbangan seluruh alam raya seisinya.

Karena itulah dengan lantang Bung Karno menegaskan bahwa "Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad S.A.W, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!" Itulah falsafah Ketuhanan yang dimaksudkan oleh Bung Karno dan kemudian seluruh Pidato Bung Karno tersebut diterima secara aklamasi bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Pancasila berfungsi sebagai jiwa bangsa.

Ia memberikan ruh bagi perasaan senasib sepenanggungan bagi seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Ia menyatukan rakyat dengan tanah airnya dan memberikan arah tentang kepemimpinan Indonesia bagi dunia. Pancasila terbukti juga merasuk dalam hakekat kehidupan berbangsa sehingga dengan keanekaragaman paling kompleks sedunia, bangsa 4 Indonesia tetap bersatu karena spirit satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa persatuan nasional. Dengan landasan Pancasila tersebut, makna hakiki dari peringatan Idul Fitri bersamaan dengan Kenaikan Isa Almasih tentu saja mengandung pesan tentang pentingnya persaudaraan sejati seluruh umat manusia. Pesan ini senafas dengan tujuan bernegara, guna melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Tujuan bernegara Indonesia ini sungguh luar biasa, dan sangat mulia!! Tidak heran dalam perenungannya tentang seluruh konsepsi Indonesia Merdeka, Dr. Yudi Latif, sosok cendekiawan muda, menggambarkan Indonesia sebagai Negara Paripurna. Bahkan, ketika bangsa-bangsa lain dihadapkan pada konflik yang berakar dari persoalan sektarian, primordialisme dan agama, sebagaimana terjadi di Suriah, bahkan Amerika Serikat sekalipun yang dilanda konflik SARA, Indonesia memiliki daya tahan yang kokoh, karena Pancasila sebagai suatu falsafah, sistem nilai, dan pedoman perilaku, telah hidup dan mewarnai sejarah peradaban nusantara. Sejarah peradaban pada Abad ke-7 misalnya. Di Kerajaan Sriwijaya, sosok pendeta Budha Dharmakitri mampu merumuskan jalan Yogachara, sebagai jembatan spiritualitas guna mengatasi perbedaan antara aliran Tantrayana dan Mahayana. Suatu jembatan solusi khas nusantara.

Hal yang sama terjadi pada Abad ke 14, ketika Mpu Tantular dalam kitab kakawin Sutasoma mengungkapkan mantra Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa sebagai solusi pentingnya persatuan meski berbeda-beda, sebab tidak ada kerancuan dalam kebenaran. 5 Demikian halnya ketika Islam masuk ke Nusantara, khususnya di Jawa. Oleh para Walisongo, bagaimana nilai-niliai luhur dalam tradisi Hindu termasuk Wayang, dijadikan media dakwah bagi syiar agama Islam. Semua dengan jalan damai penuh semangat persaudaraan, tanpa konflik. Disinilah akulturasi budaya terjadi, guna semakin menegaskan bahwa Indonesia pada posisi geografis yang sangat strategis memang menjadi persilangan dan sintesa peradaban dunia, termasuk agama. Semua menjadi satu dan digali okeh Bung Karno menjadi falsafah bangsa dan sekaligus pandangan Indonesia bagi dunia melalui prinsip Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan, Musyawarah, dan Keadilan Sosial. Tidak berlebihan bahwa Pancasila juga menjadi solusi bagi tatanan dunia baru yang merindukan perdamaian dunia yang abadi pasca Perang Dunia II.

Perdamaian dunia, keharmonian, kemanusiaan, toleransi, keadilan sosial, dan sikap hidup penuh welas asih adalah diksi yang lahir melalui sikap kontemplatif nusantara sebagai negeri spiritual. Atas dasar hal tersebut, kesamaan momentum peringatan Idul Fitri 1442 H dan Kenaikan Isa Almasih, harus dimaknakan dalam seluruh tradisi spiritualitas bangsa guna menegaskan bahwa persaudaraan sejati sebagai pilar hadirnya semangat persatuan dan kesatuan bangsa, telah memiliki basis sejarah yang melahirkan falsafah Pancasila. Tanpa Pancasila tidak ada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Artikel dimuat pada kolom Opini “Suara Kebangsaan” Pos Kota, 15 Mei 2021