SASTRA JENDRA

Alkisah dalam cerita Ramayana tampil kisah yang begitu menarik. Dalam awal cerita, Begawan Wisrawa ditampilkan sebagai sosok yang sudah kenyang asam garam dunia; sosok yang telah teruji dan memiliki daya spiritualitas yang begitu tinggi. Ia juga sosok yang begitu bijak, dan mampu menjadi pengayom. Nasehatnya memancarkan energi kebenaran dan menjadi pegangan spiritual bagi para pengikutnya. Dari pancaran budi pekertinya, tercipta harapan agar setiap mahkluk berbahagia. Dari dalam diri Begawan Wisrawa mengalir suatu aura kerendahan hati, kepenuhan cinta kasih, dan kekuatan kebenaran. Digambarkan dalam cerita wayang, bagaimana kehadiran Begawan Wisrawa selalu menggerakkan alam sekitarnya untuk menampilkan cahaya terang sebagai cermin kekuatan Sang Begawan. 

Namun dalam seluruh keistimewaannya itu, Begawan Wisrawa tetaplah seorang manusia biasa, yang seringkali tidak berdaya memenuhi keinginan anaknya. Hal inilah yang terjadi. Demi mendambakan Sang Putri cantik jelita, Prabu Danaraja meminta ayahnya yang begitu sakti untuk melamarkan Dewi Sukesi. Dewi rupawan ini rupanya begitu menyiksa Danaraja dalam harapan kebahagiaan penuh imajinasi cinta kasih dengan Sang Dewi. 

Tidak tega atas harapan anaknya, Bagawan Wisrawa luruh hatinya. Bergeraklah ia dengan keyakinan yang begitu teguh demi kebahagiaan ananda. Ia penuhi seluruh persyaratan sayembara yang ditetapkan Dewi Sukesi. Berbagai ujian dijalani, hingga dalam puncak ujian, Sang Dewi meminta kepada Begawan Wisrawa untuk menjabarkan apa yang dimaksud dengan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Kesemuanya demi rasa cintanya pada anaknya, Danareja. 

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah ilmu yang mengungkapkan rahasia alam semesta. Ilmu ini mengungkap seluruh hakekat tentang kehidupan, keselamatan, dan segala hal yang menunjukkan konsepsi Manunggaling Kawulo Gusti (kesatupaduan dalam kesempurnaan relasi antara Tuhan dengan ciptaanNya). Pendeknya, Sastra Jendra merupakan ilmu tentang Tuhan dan hanya boleh dimiliki oleh Sang Maha Tahu karena di dalamnya mengandung keseluruhan misteri alam semesta yang begitu agung. Hanya para Dewalah yang memiliki mandat atas ilmu yang begitu sakral tersebut. Dalam proses itulah, Begawan Wisrawa melupakan bahwa dirinya hanyalah ciptaan. Kebijaksanannya seakan hanya menjadi tabir tipis dan begitu mudah dikalahkan oleh ambisi; oleh ke-aku-annya agar bisa memenuhi hasrat anaknya. Maka yang terjadi adalah kekacauan. Begawan Wisrawa gagal di dalam mengungkapkan rahasia Sastra Jendra. 

Kegelapan budi melahirkan Rahwana. Ia adalah simbol segala bentuk nafsu angkara murka, ketamakan, kehausan akan kuasa, dan berbagai kehendak yang menyebabkan alam semesta berada dalam keadaan goro-goro, penuh bencana dan kekacauan. Keangkuhan dalam kekuasaan merubah karakter Begawan Wisrawa dan lantas menyamakan dirinya dengan para dewa. Lupalah Ia pada sangkan paran, pada asal-usul ciptaan. Ia juga lupa diri bahwa kesejatian ilmu itu untuk amal kemanusiaan. Kegagalan mengungkap rahasia Sastra Jendra merubah kedamaian menjadi krisis berkepanjangan yang berujung pada kegelapan.

Wayang dalam seluruh kisahnya bagaikan ritual kehidupan. Ia menampilkan pertarungan abadi antara baik dan buruk. Wayang selalu menampilkan kisah kepahlawanan tentang perjuangan para satria di dalam membela kebenaran. Wayang juga menjadi potret keseharian tentang pertarungan elit kekuasaan. Di dalam wayang, tampil begitu banyak kontradiksi perilaku kekuasaan. Kehadiran Sengkuni misalnya, menggambarkan sisi gelap kekuasaan pada wataknya yang licik, menghasut, dan menghalalkan segala cara demi kekuasaan itu sendiri. Namun wayang juga menampilkan harapan bahwa di dalam pertarungan kehidupan, antara kebenaran dan angkara murka, pada akhirmya kebenaranlah yang akan menang, Satyam Eva Jayate. 

Dari dunia wayang, tampillah kematangan falsafah kebudayaan nusantara. Hal ini nampak dari hukum kebenaran yang selalu ditampilkan, bahwa siapapun sosok satria yang menegakkan kebenaran, ia akan didampingi oleh para punakawan, Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Para punakawan inilah yang mengawal para satria dalam jalan kebenaran, agar perjuangan tidak kehilangan dari ruh kerakyatan, ruh kebenaran itu. 

Dari kisah para punakawan, dan tugas para kesatria pembela kebenaran, Bung Karno dibangunkan kesadarannya sejak kecil dengan belajar dan mencari tentang apa makna sesungguhnya di balik keseluruhan narasi kepahlawanan yang ditampilkan dalam cerita wayang. Dari pengasuhnya Sarinah, dan melalui sosok Petani Pak Marhaen, Bung Karno merasakan makna kehadiran para punakawan yang telah memberikan arah perjuangannya. Pak Marhaenlah yang memacu kontemplasi ideologis di dalam merumuskan falsafah apa yang paling tepat guna dijadikan landasan Indonesia Merdeka. Pak Marhaen menggugah kesadaran Bung Karno tentang nasib rakyat kecil, kaum Marhaen, Wong Cilik, yang menderita hidupnya akibat tata pergaulan hidup yang menghisap yakni kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme.

Dalam kesadarannya itu, Bung Karno sangat memahami bahwa setiap satria akan selamat jika menyatu dengan para punakawan. Wayang dengan demikian memiliki perspektif ideologis tentang rasa cinta pada tanah air; semangat bela negara; menegakkan kebenaran dan persatuan dengan rakyat. Wayang juga menampilkan peran pemimpin dalam kehidupan demokrasi yang berdasarkan pada permusyawaratan dimana tugas pemimpin adalah memberikan arah dengan mengedepankan hikmat kebijaksanaan.

Di luar itu wayang juga memiliki dimensi kebudayaan yang sangat kuat. Tidak bisa dipungkiri bahwa untuk menjadi Dalang, seseorang harus menguasai narasi, memahami falsafah, serta mengasah ketrampilan untuk menjadi narator, namun juga didukung oleh kemampuan melantunkan tembang, seni olah suara, serta mampu menghafalkan seluruh khasanah lagu pengiring wayang yang diiringi dengan gamelan. Gamelan menyampaikan pesan tentang keharmonian dalam aneka alat musik yang berpadu menyatu dalam satu orkestrasi. Pada saat bersamaan, wayang juga menampilkan hiburan serta tampilan para sinden yang menampilkan aneka irama lagu. 

Wayang juga menampilkan pesan aktual yang disampaikan Ki Dalang terhadap berbagai persoalan sosial kemasyarakatan, dan bahkan politik. Apa yang terjadi dalam dinamika politik nasional juga ditampilkan dalam wayang. Demikian halnya manuver politik elite tentang penundaan pemilu yang berimplikasi luas terhadap perubahan kultur demokrasi yang dibangun melalui mekanisme lima tahunan pasti akan menginspirasi Ki Dalang. Perubahan mendasar penundaan pemilu, mengingat implikasinya yang sangat luas, dapat dianalogikan pada cerita Sastra Jendra di atas.

Penundaan Pemilu bagaikan permintaan Prabu Danaraja yang ingin mendapatkan Dewi Sukesi. Terlebih Dewi Sukesi merupakan anak tunggal dari Prabu Somali dari Kerajaan Alengka. Jadi lengkap sudah perpaduan hasrat dan ambisi kekuasaan. Selain berimajinasi mendapat Sang Dewi yang rupawan, dalam logika kekuasaan akan didapatkan juga warisan kuasa dari Sang Prabu Somali kepada putri tunggalnya Dewi Sukesi. 

Demi kekuasaan itu, berbagai rasionalisasi pun dilakukan. Klaim penggunaan big data sepertinya menjadi instrumen super canggih di dalam membaca kehendak rakyat. Big data bukan dipakai untuk mencari hubungan kausalitas mengapa harga minyak goreng melonjak drastis dan langka. Big data juga tidak dipakai untuk melihat bagaimana kapitalisme telah bekerja masif dalam sistem perekonomian Indonesia sehingga harga kebutuhan pokok naik lebih awal sebelum puasa dimulai. Pembenaran alat analisa canggih big data untuk kepentingan kekuasaan bagaikan bujukan Dewi Sukesi agar Wisrawa mengupas tuntas ilmu Sastra Jendra sebagai manifestasi konsitusi, hukum dasar negara, yang seharusnya dihormati untuk dijalankan sebagai pranata kehidupan bersama. 

Ketika Sastra Jendra dibongkar tuntas tanpa kerendahan hati, tanpa kepasrahan, dan tanpa kematangan akal budi, maka yang ada adalah napsu. Suatu napsu yang nampaknya bisa dikemas dengan baik, bahkan dengan berbagai pembenaran termasuk mengatasnamakan rakyat sekalipun, namun pada dasarnya berintikan hasrat kuat tak teratur untuk berkuasa. Sama dengan Wisrawa yang merasa mendapatkan legitimasi demi rasa sayang pada anak, maka para penggagas penundaan Pemilu pasti juga memiliki kepentingan tersembunyi sehingga berbagai resiko politik pun akan ditabrak dengan melupakan realitas bahwa kultur yang telah terbangun adalah bagian dari bangunan demokrasi yang telah menciptakan mekanisme regenerasi kepemimpinan lima tahunan di seluruh tingkatan. 

Kultur itulah yang akan digantikan, dengan perpanjangan tanpa melalui pemilu, yang artinya tanpa basis legalitas dan legitimasi rakyat. Sekiranya hal tersebut terjadi, maka suara para punakawan yang begitu jernih pasti akan ditinggalkan. Punakawan ini tidak memiliki kekuasaan formal, namun mereka memiliki mata hati. Mereka memahami dialektika sosial yang seringkali penuh dengan “Faktor X”. Sosok begawan seperti Wisrawa sekalipun, ketika hasrat kekuasaan menutupi mata hati, berubah menjadi sosok pongah, terlalu percaya diri-penuh ambisi. Ambisilah yang menjadi daya gerak dengan menutup nurani. Dalam gambaran seperti ini, elite tersebut sudah mengunci dirinya sehingga tidak lagi peka terhadap rambu-rambu, bagaikan Satra Jendra yang dikupas bebas dengan melupakan batasan yang diberikan. Hasilnya pun analog dengan Sastra Jendra. 

Jadi, daripada melupakan keseluruhan rambu-rambu Konstitusi, dan kemudian energi habis hanya untuk bersilat lidah tanpa henti, sebaiknya stop niatan membongkar Sastra Jendra. Gunakanlah seluruh ilmu dan kuasa, untuk berpihak sepenuhnya bagi kepentingan rakyat. Sebab rakyatlah pemegang kekuasaan yang sejati. Rakyatlah penuntun nurani dengan terang akal budi. Sekiranya mata hati rakyat dan para punakawan dilupakan, maka seluruh gagasan penundaan pemilu akan melahirkan berbagai dampak yang menciptakan ketidakstabilan. Inilah yang harus dihindarkan. Kisah Sastra Jendra telah menjadi bingkai moral kebenaran agar tidak menyalahgunakan kekuasaan. Merdeka!!!


Oleh: Hasto Kristiyanto